“Boru, Ayah ingin kamu
suatu saat bisa menjadi orang berhasil, selalu bersyukur pada Tuhan, dan selalu
mengingat kami orang tua mu”. Kata-kata itulah yang selalu saya ingat sebelum
Ayah pergi meninggalkan saya dan semua keluarga.
Berhari-hari saya hanya
merenung dalam kesedihan, mengurung diri di kamar, dan tidak mau berbicara
dengan siapa pun. Kenyataannya Ayah sudah pergi menghadap Bapa di surga, bahkan
untuk makan sesuap nasipun mulut ini terasa kelu. Sebelum kejadian pada hari
Minggu tepatnya pada tanggal 17 April 2010.
Nama saya Vera Yunita
Sihombing, lahir di Manduamas, Sumatera Utara. Tepatnya di desa Bajamas,
kecamatan Sirandorung, pada tahun 1994. Saya terlahir dari pasangan Alm Alapan
Sihombing dan Rosda Sutriani Marbun.
Saya adalah anak
pertama dari lima bersaudara. Adik pertama saya bernama Wandy Erwanto
Sihombing, adik kedua saya bernama Cindy Yunita Sihombing, adik ketiga saya
bernama Aldy Erwanto sihombing, dan adik bungsu saya bernama Alex Erwanto
Sihombing.
Secara materi kehidupan
keluarga saya cukup sederhana. Orang tua saya selalu mengajarkan kami
anak-anaknya belajar dan bekerja keras untuk mencapai suatu tujuan. Sehingga, saya
pun akan selalu berusaha untuk mendapat rangking di kelas walaupun itu sepuluh
besar.
Saya seorang anak perempuan yang pendiam, saya merasa sulit
bergaul dengan orang lain. Saya jarang menceritakan perasaan, keinginan, dan
fikiran-fikiran yang ada pada diri saya kepada orang lain.
Akibatnya saya kurang dikenal oleh teman sepergaulan.
Dalam masalah ini saya mendapat sedikit ganjaran karena saya tidak sepenuhnya bisa diterima oleh masyarakat dan hanya mendapat sedikit dukungan dengan ketertutupan diri saya.
Dalam masalah ini saya mendapat sedikit ganjaran karena saya tidak sepenuhnya bisa diterima oleh masyarakat dan hanya mendapat sedikit dukungan dengan ketertutupan diri saya.
Berbicara mengenai konsep diri, saya masih
belum mengetahui apa kuantitas maupun kualitas, kelemahan dan kelebihan dalam
diri saya. Sehingga saya masih menjadi pribadi yang belum matang, tidak percaya diri,
takut menghadapi kegagalan, dan tidak siap mengahadapi tantangan.
Saya juga bisa dikatakan
anak yang mandiri karena dari SMP sampai SMA Ayah menempatkan saya di asrama
Khatolik dan dididik secara ketat. Ayah menyukai didikan yang seperti itu.
Ayah tidak suka jikalau
anak perempuannya panjang kaki atau sering berkeliaran kesana kemari, sehingga
aku pun menjadi anak patuh dan tidak suka pergi kemana pun yang menurut saya itu
ribet.
Ayah sudah
sakit-sakitan mulai dari aku SD. Ayah juga pernah hampir meninggal dikarenakan
penyakit asam urat dan stroke ringan yang beliau derita. Ibu saya pun selalu
berusaha keras untuk mencari biaya pengobatan ayah, termasuk meminjam uang dari
nenek saya.
Tidak terasa saya sudah
lulus SMP dan akan melanjut ke bangku SMA. Akan tetapi, ketika ingin mendaftar
ke bangku SMA saya tidak mempunyai uang sepeser pun untuk digunakan.
Saya takut meminta uang
kepada ibuku karena waktu itu bertepatan dengan hari Ayah saya akan dioperasi.
Uang kami habis untuk pengobatan operasi Ayah. Mau tidak mau saya pun menelepon
ibuku dari wartel dekat asrama saya.
“Nak, mama udah gak punya
uang lagi. Coba sekarang kamu pulang ke rumah dan minta utang sama Oppung di
kedai”. Itulah yang dikatakan ibu kepada saya. Saya pun bergegas pulang ke
rumah. Sesampainya di rumah, saya bertemu dengan adik-adukku yang dirawat oleh
nenekku.
Saya mengajak adik saya
Wandy untuk menemani meminjam uang ke tempat Oppung di kedai. Puji Tuhan, saya
mendapatkan uang untuk bisa mendaftar ke bangku SMA. Ibu memberitahu kami juga
bahwa operasi Ayah berjalan dengan lancar. Kami pun turut bersuka cita.
Setelah beberapa bulan
berlalu, penyakit Ayah kambuh lagi. Saya hanya bisa berdoa agar Tuhan mengangkat
penyakit Ayah. Saya sangat menyayangi Ayah. Ketika saya mengikuti misa di
Gereja, saya meminta kepada Pastor agar mendoakan Ayah agar cepat sembuh. Saya
selalu menangis setiap mengucap doa tentang Ayah.
Saya sangat menyukai
hari Sabtu. Menurut saya pribadi hari Sabtu itu lebih menyenangkan, saya bisa
rileks sejenak dari semua tugas sekolah, bisa gereja dengan tenang, dan bermain
dengan teman di asrama. Tetapi, semua itu terasa hampa ketika orang yang kita
sayangi dan kita cintai pergi di hari yang sangat kita senangi.
Sabtu, 17 April 2010. Saya
hendak berangkat ke sekolah, tetapi suster asrama saya meminta saya untuk tidak
pergi ke sekolah. Suster menyuruh saya pergi menemani beliau ke suatu tempat. Saya
mengatakan kalau saya harus ke sekolah karena ada ujian bahasa Inggris.
Akhirnya saya menyerah
dan mengikuti perkataan Suster asrama dan kembali mengganti pakaian. Tiba-tiba saya
teringat dengan Ayah. Saya berfirasat bahwa suster akan mengajak saya ke rumah
untuk melihat keadaan Ayah. Saya meneteskan air mata dalam diam.
Dalam hati saya berkata
“pasti penyakit Ayah kambuh lebih parah lagi”. Saya sudah curiga kalau suster
menyembunyikan sesuatu dari saya, tetapi aku belum sadar juga jika hal itu
tentang Ayah. Kakak kelas saya menenangkan saya yang menangis teringat Ayah.
Saya mengikuti Suster
dan kakak kelas saya ke depan pintu gerbang sekolah. Di sana sudah ada mobil
dan di dalam mobil itu saya terkejut, mengapa ada beberapa teman sekelas saya,
guru ku dan ketua OSIS. Saya semakin tak kuasa membendung air mata. Saya
dihibur teman-temanku, tetapi saya tetap saja tidak bisa tertawa bahkan
tersenyum sedikit pun.
Dalam hidup ini, tidak
pernah sekalipun terbersit pemikiran bahwa Ayah akan pergi meninggalkan saya
dan keluarga untuk selamanya. Selama berada di dalam mobil, saya hanya mengira
bahwa Ayah hanya sakit parah dan sedang kambuh, sehingga beliau menyuruh saya
pulang melalui perantara Suster.
Betapa terkejutnya saya
ketika melihat banyak orang berada di depan rumah saya. Setahu saya, keluarga
saya sedang tidak mengadakan pesta apa pun. Saya heran mengapa banyak suara
tangisan dari dalam rumah. Saya hampir pingsan melihat keadaan Ayah yang sudah
tidak bernyawa lagi. Saya hanya bisa menangis, menangis, dan menangis.
Saya, Ibu, dan semua
keluarga hanya bisa menangis pilu melihat kepergian Ayah. Saya tidak percaya
kalau Ayah benar-benar sudah tiada. Padahal, Jumat malam saya masih bercerita
ria tentang Ayah kepada teman-teman-teman saya. Tetapi, apa yang saya dapat
sesampainya di rumah, Ayah sudah pergi pergi untuk selamanya.
Pada hari yang
bersamaan, Ayah sudah tiada, Ibu menjadi janda, adik saya Wandy mengalami patah
tulang, adik saya Aldy mengalami luka-luka, dan adik saya Alex mengalami
kebocoran kepala akibat jatuh dari sepeda motor. Hari yang sangat sial bukan!
Hari yang sangat saya sukai tiba-tiba berubah menjadi hari yang sangat saya
benci.
Ketika saya mengalami
hal menyedihkan seperti itu, saya selalu saja menyalahkan Tuhan. Mengatakan
bahwa Tuhan itu tidak adil, Tuhan itu tidak melihat keadaan keluarga saya yang
rapuh, dan Tuhan tidak pernah mengerti akan hidup yang saya alami.
Semenjak kepergian
Ayah, saya semakin menutup diri baik dari dalam keluarga maupun dari lingkungan.
Saya hanya berbicara seperlunya saja. Teman-teman saya merasa simpati dengan
keadaan saya yang semakin ekstropert.
Keluarga dan
teman-teman selalu berusaha menghibur saya. Mereka mengatakan bahwa kepergian Ayah itu adalah
jalan terbaik yang Tuhan berikan. “Dalam segala sesuatu baik senang maupun
sedih, Tuhan pasti punya rencana indah di baliknya”. Dengan mengungkapkan kata-kata
itulah mereka menghibur saya.
Setelah sekian lama, saya
semakin jauh dari teman-teman, saya selalu menyalahkan Tuhan, tidak bisa
menerima kenyataan, dan hilang harapan. Saya pun berinisiatif untuk intropeksi
diri sendiri. Saya sadar bahwa yang saya lakukan adalah hal yang salah.
Saya mencoba memahami
semua yang Tuhan berikan dalam hidup ku. Saya jarang bersyukur pada Tuhan atas
semua kasih karunia yang Dia berikan untuk saya. Saya hanya selalu sibuk dengan
diri sendiri dan tidak memperdulikan orang lain sekalipun itu keluarga saya
sendiri. Saya sadar bahwa saya benar-benar orang yang jahat.
Merenungkan hal itu saya
pun menangis. Secara perlahan-lahan saya berubah dan mau menerima kenyataan yang ada
dan mulai bersyukur atas apa yang Tuhan berikan tanpa saya minta. Mengenai
ketertutupan diri saya, saya berusaha untuk merubah diri. Walaupun saya selalu mengukur tingkat perbandingan antara saya dengan
orang lain.